Mamuju, mandarnews.com – Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Atang Irawan mengatakan, kekhawatiran menguatnya oligarki partai politik(parpol) semakin tak terpatahkan dengan mencuatnya isu pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional tertutup.
“Sejarah buram eksistensi parpol yang kerap dipandang hanya elitis, birokratis, dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri melalui skema konspirasi konfigurasi kepentingan elit partai menjadi momok yang menakutkan bagi civil society,” tegas Atang dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (31/12).
Bahkan, ujar Atang, lebih kritis lagi, kandidasi dalam system electoral dengan model proporsional tertutup semakin mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyat, sehingga akselerasi kepentingan rakyat akan terbantahkan dalam ruang gelap parpol.
“Memilukan bagi demokrasi ketika rakyat diberikan otoritas untuk menentukan wakilnya namun kemudian dirampas kembali oleh parpol,” ujar Atang.
Maka, semakin menjauhnya artikulasi kepentingan rakyat dan bahkan semakin jauhnya wakil dan terwakili sehingga fungsi representasi akan semakin rentan bagi rakyat terhadap wakilnya karena tanpa dipilih oleh rakyat, yang penting ditetapkan nomor urut terkecil oleh parpol.
Yang lebih memprihatinkan lagi, jika rekrutmen calon legislatif (caleg) semakin tertutup tanpa memberikan ruang informasi yang transparan dalam rekrutmen dan seleksi caleg, meskipun dalam Pasal 241 Undang-undang Pemilu mensyaratkan seleksi bakal calon dilaksanakan secara demokratis dan terbuka.
Maka, sistem proporsional tertutup bukan hanya langkah mundur dalam perjuangan demokrasi, bahkan menuju titik nadir bagi hak konstitusional rakyat untuk menentukan siapa yang berhak mewakilinya dalam rangka representasi.
Oleh karenanya, Atang mewanti-wanti bahwa rendahnya kepercayaan terhadap parpol akan terulang kembali sehingga apatisme dan apolitis bakal bersemi kembali.
Sebab, dengan sistem proporsional tertutup rakyat tidak pernah tahu siapa yang akan mewakili dirinya karena semua menjadi otoritas parpol atau seperti memilih kucing dalam karung.
Bahkan, mirisnya lagi, wakil yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat dapat melenggang di legislatif hanya karena nomor urutnya lebih kecil daripada suara terbesar.
“Miris memang. Suara rakyat hanya akan menjadi komoditas partai politik dan dimanipulasi oleh oligarki parpol,” sebut Atang menyayangkan.
Lebih jauh, Atang mengatakan jika proporsional tertutup adalah sebuah reinkarnasi hegemoninya parpol untuk melegitimasi demokrasi.
Mengenai tudingan proporsional terbuka sangat high cost, politisi yang merupakan ahli hukum tata negara ini mempertanyakan apakah rekrutmen caleg di internal dengan proporsional tertutup tidak memungkinkan terjadinya ruang suap agar mendapatkan nomor urut kecil.
“Apakah ada jaminan proses kandidasi tidak menjadi benih unggul yang dapat menstimulan korupsi di kemudian hari, karena ada kekhawatiran sejak awal dalam kandidasi sudah terjadi mahar di internal parpol dalam penentuan nomor urut,” ungkap Atang.
Legal Standing Pemohon Dipertanyakan
Selain itu, Atang juga mempertanyakan legal standing pemohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.
“MK sebaiknya menguji betul terkait legal standing pemohon terhadap permohonan pengujian Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu,” ucap Atang lagi.
Khususnya, terkait kerugian pemohon karena peserta pemilihan legislatif bukanlah perseorangan melainkan parpol, kecuali untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Untuk diketahui, pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem); Fahrurrozi (bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok).
Lantas, apakah para pemohon pernah menjadi caleg dengan urutan kecil dalam kapasitas sebagai pengurus partai, namun dikalahkan dengan urutan nomor lebih besar.
“Bahkan, akan menjadi ironis jika pemohon tidak dicalonkan oleh parpolnya dalam kontestasi 2024, sehingga di mana letak legal standing-nya para pemohon,” tutup Atang. (Sugiarto/Rls)
Editor: Ilma Amelia