Anggota DPR RI Komisi X dapil Sulbar Ratih Megasari Singkarru saat memberikan sambutan.
Majene, mandarnews.com – Perkembangan zaman yang terjadi saat ini membuat hampir segala hal semakin maju dan modern. Tidak hanya terkait teknologi, tapi juga memengaruhi cara berkomunikasi. Sayangnya, kemajuan zaman juga tak dapat dipungkiri menggerus kearifan lokal yang ada, seperti halnya bahasa daerah.
Melihat kondisi tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Komisi X daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Barat (Sulbar) Ratih Megasari Singkarru bersama Balai Bahasa Sulawesi Selatan (Sulsel) melaksanakan Diseminasi Program Kebahasaan dan Kesastraan (Revitalisasi Bahasa Daerah), Sabtu (5/8), di Hotel Villa Bogor Majene.
Ratih mengatakan, tujuan utama dari adanya kegiatan ini untuk menjaga kelestarian bahasa daerah yang ada di Sulbar, khususnya Bahasa Mandar agar tidak punah.
Apalagi, sebut Ratih, sesuai yang disampaikan Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindung Bahasa dan Sastra Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Tinggi (Kemendikbud Ristek) bahwa bahasa Mandar saat ini statusnya mengalami kemunduran.
“Apalagi ini belum by data dan kemungkinan hasilnya lebih dari itu ketika itu betul-betul didata,” ujar Ratih.
Makanya, pihaknya langsung mengusulkan untuk merevitalisasi bahasa Mandar dan usulan itu diterima oleh Badan Bahasa.
“Alhamdulillah sedang ditindaklanjuti sampai saat ini. Bahkan merencanakan untuk mengeluarkan kamus digital khusus bahasa Mandar,” ucap Ratih.
Ia menyampaikan, upaya untuk merevitalisasi bahasa daerah tidak hanya sebatas mengeluarkan kamus digital, tapi juga hal-hal lain perlu dilakukan, seperti memulai dari rumah.
“Karena, mendidik anak-anak kita untuk membantu membudayakan bahasa daerah pasti pilar utamanya adalah di rumah, yakni orang tua.
Orang tua yang masih fasih berbahasa Mandar harus bisa mengajarkan anak-anaknya tanpa terlepas juga untuk berbahasa Indonesia. Biar bagaimanapun, bahasa Indonesia sangat diperlukan, apalagi dalam dunia pendidikan dan kerja. Tapi, tanpa melupakan akar rumputnya dari mana ia berasal,” tandas Ratih.
Lebih jauh Ratih menjelaskan, harusnya karena saat ini sudah Kurikulum Merdeka bisa lebih dipermudah, fleksibel untuk penerapan penggunaan bahasa daerah di sekolah. Mulai tingkat sekolah dasar kelas 1 sampai maksimal kelas 3 diperbolehkan menggunakan bahasa Mandar.
“Apalagi salah satu data menyebutkan apabila seorang anak belajar menggunakan bahasa daerah itu memungkinkan untuk bisa lebih berprestasi ke depannya,” tutur Ratih.
Terkait minimnya literasi saat ini di Indonesia, lanjutnya, khususnya di Kabupaten Majene, sinkronisasi untuk kegiatan ini adalah sudah sepantasnya setiap provinsi memiliki Balai Bahasa-nya masing-masing.
“Apalagi Sulbar saat ini masih bergabung dengan Sulsel. Dengan ini juga akan lebih mempermudah sinergitas antara sumber daya manusia yang ada, Pemda, dan stakeholder lainnya,” tukas Ratih.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindung Bahasa dan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud Ristek Imam Budi Utomo membeberkan, hal yang paling mendasar dengan adanya kegiatan ini adalah bagaimana mengubah mindset atau pola pikir generasi muda bahwa menggunakan bahasa daerah itu keren dan tidak ketinggalan zaman.
“Oleh karena itu, kami dengan merevitalisasi bahasa daerah itu memilih materi-materi yang disukai dan kekinian dan menggunakan platform-platform digital yang sekarang ini disukai anak-anak. Sebagai contoh, peserta revitalisasi bahasa daerah di Jawa yang saat ini sudah memiliki platform YouTube atau TikTok sudah memiliki banyak subscriber, padahal hanya menggunakan bahasa daerah. Bahkan, ada orang asing yang menggunakan bahasa Jawa di dalam konten-konten YouTubenya. Ini luar biasa,” ungkap Imam.
Ia menjelaskan, bahasa Mandar saat ini mengalami kemunduran. Jika ini sudah by data, mungkin tidak hanya mengalami kemunduran, tapi juga sudah terancam punah, bahkan mengalami kekritisan.
“Ini kita bisa buktikan, ketika kita mengajak anak berbicara menggunakan bahasa Mandar dan jawabannya bahasa Indonesia, ini sudah bisa membuktikan mereka memiliki sikap yang negatif terhadap bahasa daerah. Oleh karena itu, bagaimana agar anak ini mengembalikan kepercayaan mereka berbahasa Mandar,” imbuh Imam.
Pihaknya pun telah siap memberi apresiasi, misalnya bagi pemenang festival Tunas Bahasa nantinya, yaitu memberikan sertifikat yang bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, yaitu Manajemen Talenta Nasional.
“Di sertifikat itu ada nilainya, baik nilai pemenang tingkat kabupaten dan nasional. Ini menunjukkan bahwa bahasa daerah memiliki nilai di dalam dunia pendidikan jenjang lebih tinggi,” tandas Imam.
Sementara itu, Ketua Panitia Dr. Ganjar Harimansyah yang juga merupakan Kepala Balai Bahasa Sulsel menambahkan, dengan adanya kegiatan ini, diharapkan peserta yang hadir bersama-sama ikut menyokong revitalisasi bahasa daerah.
“Peserta yang hadir sekitar 102. Terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidikan, perwakilan Dinas Pendidikan, serta para guru. Sehingga, meskipun yang diundang hanya 102 saya yakin peserta yang ada adalah kaum militan yang insya Allah bisa menginformasikan kembali hasil-hasil diseminasi yang kita lakukan,” ujar Dr. Ganjar.
Ia melaporkan, kegiatan revitalisasi bahasa daerah yang sudah dilaksanakan di Sulselbar ini sudah berjalan tiga tahun dan sudah banyak pencapaian yang diraih. Salah satunya apresiasi dari Kemendikbud Ristek kepada Gubernur Sulsel untuk pelestarian daerah. Bahkan, salah satu guru di Pare-pare mendapat hadiah sebagai guru inovatif dalam revitalisasi bahasa daerah.
“Ini penting bahwa revitalisasi bahasa daerah dilirik oleh UNESCO dan meminta agar kita berpidato di sana,” kata Dr. Ganjar.
Untuk mendukung revitalisasi bahasa daerah berbasis sekolah bersama Dinas Pendidikan di Sulsel, pihaknya juga mengadakan acara Duta Bahasa Daerah. Harapannya, mudah-mudahan ini bisa juga dilakukan di Sulbar.
“Kami juga melibatkan 30 dinas pendidikan di Sulselbar, organisasi lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, serta para pengawas sekolah,” tutup Dr. Ganjar. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia