
“Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi dapat digunakan oleh pembentuk UU untuk panduan melakukan Legislatif Review,” ucap Cahyo.
Berkenaan dengan isu Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu), Cahyo menganggap belum relevan disebabkan faktor subyektif kalimat “ihwal kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Sedangkan ihwal kegentingan memaksa telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam parameter adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” tutur Cahyo.
Ia menjabarkan, Perppu atau Eksekutif Review juga mempunyai batasan sebagaimana Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011. Dalam artian, Perppu ini jangka waktunya terbatas sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
“Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang. Apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut,” tukas Cahyo.
Artinya, tambahnya, Perppu justru akan memicu konflik horizontal antara yang pro dan kontra atau menimbulkan kegentingan yang memaksa. Terlebih lagi, UU tersebut sudah disetujui oleh semua fraksi di DPR dan Pemerintah sendiri.
Editor: Ilma Amelia