
Oleh : Hairil Amri (Founther Cerita Demkorasi)
Isu ini bukan hal yang baru di Indonesia, terhitung sejak pasca reformasi setidaknya sudah dua kali terjadi. Hal yang sama juga menjadi isu hangat pada penghujung periode Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan sekarang di penghujung periode Jokowi.
Isu ini jika kita lihat secara normatif pada konstitusi, tepatnya pada Pasal 7 UUD 1945 sangatlah tidak mungkin untuk membenarkan sekaligus merealisasi isu Jokowi tiga periode. Disana jelas termaktub hanya dua periode saja untuk setiap rezim.
Walau Jokowi tak ingin dirinya menjadi Presiden selama tiga Periode, paling tidak pak Luhut dan elit politik lain yang telah mengisukan penundaan pemilu dan Jokowi jilid III Periode diingatkan kembali, bahwa apa yang telah ia lontarkan adalah hal yang inkonsitusional sama sekali. Wabil khusus melanggar Pasal 7 UUD 1945.
Hikmah lain dari isu ini, mengajak kita mengetahui perjalanan kepemiluan bangsa Indonesia, sekaligus mengoreksi konfigurasi politik era saat ini yang pada faktanya sangat memungkinkan secara matematis untuk mengamandemen konstitusi sesuai kehendak koalisi.
Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga kali penundaan Pemilu di Indonesia, yang masing-masing disebabkan kondisi kedaruratan negara.
Pertama, berdasar pada maklumat 3 November 1945 yang diterbitkan oleh Bung Hatta yang isinya menghendaki Pemilu tahun 1946 tapi realisasinya pada tahun 1955 (Pemilu Pertama)
Kedua, berdasar pada UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu yang kemudian dijadikan dasar oleh Bung Karno untuk melantik Panitia Pemilihan Indonesia II (KPU waktu itu) untuk melaksanakan Pemilu sesuai periodenya tertunda karena dinamika politik yang berkembang.
Ketiga, berdasar pada TAP MPRS Nomor XI Tahun 1966 tentang asas Pemilu yang hendak dijadikan dasar untuk melaksanakan Pemilu menuju rezim yg legitimate tertunda pelaksanaannya hingga tahun 1971 (pemilu pertama era orde baru).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya alasan saat ini untuk menunda Pemilu dan menjadikan Jokowi Presiden tiga periode adalah keadaan darurat saja.
Melalui kesempatan ini saya ingin menyampaikan salah satu hal yang sangat penting untuk disuarakan adalah merevisi UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Darurat) untuk memuat pertimbangan demokratis di dalamnya.
Selain itu, urgensi dari revisi Undang-undang tersebut adalah dasar konstitusinya menggunakan UUD 1945 naskah asli. Sudah barang tentu tidak konteks lagi dengan UUD 1945 hasil amandemen. Hal ini penting untuk tetap menjaga alam demokrasi, bila mana nanti terdapat kondisi kedaruratan di masa mendatang.