Pengantin wanita menaiki toyang roeng bersama keluarga dan warga setempat.
Majene, mandarnews.com – Tradisi adalah salah satu kebijakan atau kegiatan turun temurun yang biasanya terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.
Bahkan, kepercayaan tentang tradisi di masyarakat kadangkala disakralkan atau pantang untuk dilanggar. Begitu pula di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Di salah satu wilayah dataran tinggi, tepatnya di Kelurahan Tande, Kecamatan Banggae Timur, terdapat keluarga yang terus menjaga dan melestarikan tradisi toyang roeng yang dilakukan setiap melangsungkan acara pernikahan bagi anak cucunya.
Toyang roeng atau mambassi dipercayai salah satu keluarga di Tande sebagai tradisi yang mempunyai nilai mistis.
Dari penampakannya, toyang roeng mempunyai kemiripan dengan permainan bianglala. Namun, berbeda dengan bianglala umumnya yang mempunyai lingkaran raksasa, terbuat dari besi dan memerlukan generator untuk memutar, toyang roeng sendiri terbuat dari bambu besar, pohon kelapa, pohon jati, dan bahan lainnya.
Untuk memutar permainan ini pun tidak memerlukan generator, melainkan hanya perlu beberapa tenaga manusia untuk terus mengayun, baik menggunakan kaki ataupun tangan.
Permainan ini pun cukup mengundang tawa dan adrenalin serta banyak disukai bagi masyarakat setempat. Namun, di luar dari itu, ternyata toyang roeng sendiri dianggap sakral oleh keluarga khusus di Tande.
Menurut Zainuddin, salah satu anggota keluarga Tande yang terus menjaga tradisi ini, toyang roeng atau pattoyang roeng sendiri tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, meskipun warga Tande itu sendiri.
Toyang roeng hanya bisa dilakukan oleh anggota keluarga yang memang mempunyai tali kekerabatan dengan yang pertama kali melakukan tradisi ini.
“Ini adalah tradisi yang sudah turun temurun bagi keluarga kami. Tradisi yang dilakukan sejak nenek moyang kami, meskipun kami tidak tahu pasti kapan tradisi ini dilakukan, tapi sampai saat ini kami terus menjaga tradisi ini. Artinya, memang tidak semua orang bisa melakukan ini, termasuk warga Tande. Jadi, harus memang yang mempunyai hubungan keluarga,” jelas Zainuddin saat melangsungkan pattoyang roeng di acara nikahan cucunya Wada dan Dede, Minggu (27/8).
Kecuali, lanjutnya, memang ada di luar keluarganya yang melihat toyang roeng ini lalu mempunyai hajat suatu saat nanti memggelar acara juga mau mengadakan pattoyang roeng boleh-boleh saja.
“Tapi, untuk menjadi tradisi, itu tidak bisa,” ujar Zainuddin kembali.
Ia menyebut, pernah suatu waktu keluarganya melangsungkan pernikahan dan tidak mengadakan pattoyang roeng. Salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa hingga akhirnya dikait-kaitkan dengan pattoyang roeng. Pada saat toyang roeng dilakukan, keluarga yang mengalami gangguan jiwa sembuh dan normal kembali.
“Secara tidak langsung, pattoyang roeng di dalam keluarga kami cukup sakral karena melihat contoh kasus sebelumnya,” tandas Zainuddin.
Kisah lainnya pun diceritakan oleh Zainuddin. Keluarganya melangsungkan pernikahan. Namun, karena tidak melaksanakan tradisi pattoyang roeng, salah satu anggota keluarga ini tidak bisa jalan atau lumpuh. Barulah setelah mengaitkan dengan pattoyang roeng dan melaksanakannya, anggota keluarga yang awalnya tidak bisa jalan ini sembuh dan normal hingga saat ini.
Pembuatan toyang roeng dilakukan oleh tukang khusus yang mengerti tentang ukuran dan bahan toyang roeng. Meskipun hanya dapat dilaksanakan oleh rumpun keluarga tertentu serta dibuat oleh tukang khusus, namun toyang roeng dapat dinaiki oleh sembarang orang setelah salah satu mempelai atau keduanya menaiki permainan ini.
Adapun tinggi toyang roeng ini sekitar lima meter dan mempunyai beberapa tempat duduk tunggal. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia