Berikut ini catatan perjalanan hidup Moeldoko yang disampaikan dalam beberapa kesempatan) :
Tidur Mushola Setiap Malam
Moeldoko lahir dari Ayah bernama Moestaman dan Ibu bernama Masfuah. Moeldoko lahir sebagai anak bungsu dari 12 bersaudara di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Empat saudaranya meninggal sejak dia kecil. Dari delapan bersaudara yang tersisa, terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan.
“Bapak saya menjadi Jagabaya (perangkat keamanan desa),” kata Moeldoko. Menjadi aparat desa sekaligus bertani sebenarnya penghasilan sang ayah terbilang cukup. Tapi karena jumlah keluarga yang besar kebutuhan hidup pun membengkak. “Apalagi saya anak bontot, cuma dapat koret-koretan (sisa-sisa),” kata Moeldoko sambil tertawa.
Moeldoko kecil punya kebiasaan rutin. Sepulang sekolah dia langsung digelandang ke sawah. Membantu sekadarnya, layaknya bocah desa lain dia langsung kelayapan di perkebunan tebu dengan teman-teman sebaya. Saat sungai yang melintas di kampungnya sedang pasang, mereka berlomba renang melawan arus deras. Siapa yang bisa berenang sampai ke seberang dengan jalur paling pendek, dialah pemenangnya.
Menjelang Maghrib, Moeldoko sudah merapat ke mushola dekat rumah. Usai salat dilanjutkan ngaji dan latihan silat. Setelah itu dia tidur di mushola sampai pagi. “Itu setiap hari. Mungkin karena anaknya banyak, ibu saya juga nggak pernah nyari saya kalau malam,” katanya.
Setiap pukul empat pagi, Moeldoko harus bangun. “Kami, anak-anak yang tidur di mushola dibangunkan Kyai Slamet, disabeti pakai ranting,” kenangnya. Mereka harus langsung ngaji, dilanjutkan salat Subuh. Setelah itu baru pulang untuk bersiap ke sekolah.
Ditangkap Kondektur Kereta Api
Moeldoko melanjutkan sekolah di SMP yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Prestasinya di sekolah terhitung moncer dan selalu masuk jajaran bintang kelas. Namun sifat bandelnya tak pernah surut.
Jauhnya jarak ke sekolah memaksa Moeldoko mencari tumpangan gratis. Dan sasarannya adalah kereta api yang melintas dari Kediri menuju Jombang. Saat kereta melintas dia langsung mengejar dan melompat, tumpangan gratis sekaligus menu olahraga setiap hari.
“Kadang-kadang apes, ditangkap kondektur,” kata Moeldoko. Jika itu yang terjadi, sang kondektur akan menyita bukunya lalu ditipkan di stasiun. Yang boleh mengambil buku itu harus Kepala Sekolah.
Jika kebanyakan bocah usia belasan takut melapor ke Kepala Sekolah, tidak demikian bagi Moeldoko. “Pak, jukukno bukuku nang stasiun (Pak, ambilkan buku saya di stasiun),” kata Moeldoko dengan santai. Karena sudah jadi langganan, Kepala Sekolah pun dengan santai melayani permintaan siswanya itu.
Pernah suatu hari Kepala Sekolah mengajaknya pergi ke pasar. “Saya kira mau diajak belanja atau apa?” pikirnya. Ternyata sampai di pasar, dia diajak berbelok ke tukang cukur. “Potong rambutnya itu,” kata Kepala Sekolah kepada tukang cukur, karena risih melihat rambut Moeldoko yang terhitung panjang untuk ukuran anak sekolah.