Kesulitan, Melahirkan Inovasi
Moeldoko melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Jombang. Sekolah yang terletak di kabupaten berbeda dari rumahnya itu, membuat Moeldoko harus menyandang status sebagai anak kos. Rumah kos itu terletak tepat di belakang Masjid Agung Kota Jombang. “Jadi, meskipun bandelnya tidak sembuh, tapi salat dan ngaji tidak pernah ketinggalan,” katanya.
Hidup terpisah dengan orangtua, Moeldoko harus pandai-pandai berhemat. Setiap kali usai pulang dari rumah dan kembali ke Jombang, Ibunya selalu membekali Moeldoko dengan orek tempe dalam toples untuk lauk makan. Cukup dengan nasi, bekal itu dia hemat untuk bisa jadi menu harian. “Kadang baunya sampai tengik, karena sudah berhari-hari,” kata Moeldoko.
Dari rumahnya menuju Jombang, Moeldoko harus naik bus. Perjalanan dengan bus berakhir di sebuah persimpangan jalan. Dari sana dia harus meneruskan naik angkutan umum menuju rumah kos yang jaraknya lumayan jauh. Masalahnya, jika uang saku dia pakai membayar ongkos angkutan umum, berarti jatah makan berkurang. Tetapi jarak masih cukup jauh.
“Di persimpangan itu, saya sering merenung sampai sejam. Saya merasakan benar, susahnya jadi orang miskin,” kata Moeldoko. Saat ini, tepat di depan persimpangan itu, berdiri Masjid Moeldoko. Masjid yang dia bangun saat menjabat Panglima TNI. Disana, sebuah papan tertancap dengan tulisan “Jalan Perenungan”. Sebuah penanda untuk mengingatkan masa-masa kesusahan dalam hidupnya.
Minimnya uang saku itu membuatnya lebih “cerdas”. Pernah suatu saat ada pertunjukan musik di Jombang. Dia menggalang teman-temannya menyediakan tempat parkir sepeda. Dari situ dia mendapatkan uang dan bisa dipakai untuk jajan lebih istimewa dari hari biasa. “Padahal ya cuma minum es, tapi rasanya dah kayak orang berduit,” katanya.
Tidak cuma itu, saat ada familinya yang mendapat proyek pembangunan plengsengan, dia diminta membantu. Oleh familinya dia diberikan tugas mengatur 21 truk yang mengangkut batu dari Nganjuk menuju Kertosono. Dia punya anak buah para sopir untuk memastikan pasokan batu tidak terlambat, dan proyek berjalan lancar. “Tapi ibu saya mengingatkan, hati-hati sekolahmu jangan putus,” katanya. Sehingga usai proyek itu dia kembali sekolah.
Mendaftar Transmigran Malah Jadi Tentara
Menjadi tentara, tidak pernah terlintas dalam cita-cita Moeldoko. Tapi dia ingat saat kelas 5 SD, ada seorang tentara yang seringkali melintas di desanya dengan menggunakan vespa. Sang tentara itu bukan sedang bertugas, tetapi ke kampung Moeldoko hanya untuk mendatangi seorang gadis yang menjadi bunga desa. Saat itu dia langsung mendatangi Ibunya yang sedang masak di dapur. “Bu, aku kepingin jadi tentara,” Moeldoko mengingat kembali sambil terbahak.
Moeldoko sadar betul orangtuanya tidak akan mampu membiayai jika dia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Dia mencari akal untuk bisa langsung bekerja selepas SMA. Belum lagi lulus, Moeldoko mendatangi kantor transmigrasi setempat. “Saya mau mendaftar berangkat transmigrasi,” katanya.
Sampai di kantor transmigrasi, petugas yang menerimanya malah tersenyum melihat pemuda tanggung yang ngotot berangkat transmigrasi. “Kamu masuk tentara saja. Sekolahnya gratis, langsung kerja dan dibayar,” kata sang petugas.
Saran dari pegawai transmigrasi itu ternyata sangat berkesan bagi Moeldoko. Saat ada pendaftaran taruna militer, dia berangkat ke Surabaya. “Saya berempat mendaftar. Kami berdua diterima, sisanya gagal,” kata Moeldoko.
Setelah lolos seleksi di daerah, maka 97 orang calon taruna diberangkatkan dengan dua bus menuju ke Magelang. Tetapi naas menimpa di perjalanan. Baru sampai di Caruban, saat hendak melintasi jembatan, bus berpapasan dengan truk dari arah berlawanan. Di jembatan sempit itu, dua bus dan truk bersenggolan. Bus yang mengangkut calon taruna jatuh berguling di jurang.
Mereka semua langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Madiun untuk mendapat perawatan, tidak terkecuali Moeldoko. “Saya lupa berapa yang meninggal. Seingat saya 18 orang gagal masuk Akabri akibat kecelakaan itu. Kalau saya yang ikut mati, ya gak pernah ada Panglima bernama Moeldoko,” kenangnya.