Penulis : Zulkarnain Hasanuddin,SE,.MM.(Founder Garansi Institute).
Salah satu ciri sebuah Negara Demokrasi ( Democratic Country ) adalah adanya pergantian kepemimpinan secara berkala/periodik melalui pemilihan baik itu yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan ( Dewan / Majelis Perwakilan Rakyat ) ataupun pemilihan yang dilakukan langsung oleh rakyat melalui Pemilu atau Pilkada.
Indonesia Pasca Reformasi salah satu negara yang melakukan pemilihan langsung oleh rakyat secara periodik ( 5 tahun sekali ).sebagai sarana bagi rakyat untuk melakukan evaluasi terhadap pemerintahan dalam 1 periode dan selanjutnya akan kembali memberikan mandat baru pada setiap pasangan calon ( Mandatoris )yang dianggap mampu mewujudkan aspirasinya sebagai pemegang kedaulatan.
Namun perjalanan Demokrasi dan perkembangan teknologi saat ini tidak serta Merta merubah paradigma kontestan ( kasuistik ) dalam melihat dan mendeskripsikan setiap kontestasi yang dilaksanakan. Bahkan kehadiran lembaga survey sebagai metodologi yang ilmiah dalam mengukur tingkat popularitas maupun elektabilitas kontestan kerap kali masih membutuhkan support sub sistem mistik dari Ahli Nujum/dukun yang diyakini memiliki kekuatan supranatural dalam menerawang sebuah kontestasi,sekaligus meramal kemenangan bagi paslon yang menggunakan jasanya.
Tradisi mistik ini telah menjadi bagian dari budaya lokal, memperkaya warisan spiritual dan kepercayaan masyarakat tertentu.Namun Apakah fenomena mistik benar-benar nyata atau hanya mitologi dan produk dari imajinasi manusia? Pertanyaan ini memang menarik untuk dikulik, karena selalu ditemukan dalam setiap perhelatan demokrasi seperti pemilu dan pilkada, dimana saat ini seluruh daerah di Indonesia akan melaksanakan hajatan demokrasi untuk memilih pemimpin-pemimpin di daerahnya, dan tak sedikit jasa ahli nujum/dukun masih ada yang menggunakan oleh kontestan walau sekedar memprediksi posisi setiap kompetitor dengan spekulatif.
Namun tidak sedikit dari spekulasi dan hasil terawangan para pawang terkadang tepat, apakah karena kebetulan tepat atau mereka memang memiliki daya magis sehingga dapat menembus alam bawa sadar dan bahkan mematahkan nalar, sehingga pemilih dapat digerakkan secara magis untuk memilih calon tertentu yang memakai jasa sang pawang. Memang tidak akan ketemu rumusnya jika menyandingkan dengan menggunakan rumus matematika politik untuk dikalkulasi karena pasti rumus yang dipakai sang pawang bukan rumus phytagoras, tapi menggunakan kekuatan mistik dan supranatural yang mereka dapatkan secara ghaib ataukah memang memiliki karomah dan keahlian khusus yg dapatkan sendiri atau warisan dari moyangnya.
Tapi bagi rakyat sebagai pemilih metode apapun yang digunakan oleh para kompetitor untuk meraih simpatik rakyat itu sah-sah saja selama tidak melanggar rambu-rambu yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang dan para penyelenggara pemilu,selama ujung dari kemenangan itu adalah cita-cita dari founding parent kita yang dijewantahkan dalam UU dasar Republik Indonesia yaitu untuk rakyat sejahtera dalam bingkai keadilan sosial.
Namun jasa pawang demokrasi ini dapat tergantikan jika spekulasinya kalah akurat dengan lembaga survey yang margin erornya terukur, sehingga pawang demokrasi pun harus berani beradaptasi dengan mesin-mesin teknologi, sekaligus membangun keyakinan jika rakyat dijelmahkan oleh tuhan dan suaranya adalah perwujudan suara tuhan yang akan diberikan juga pada wakil-wakil tuhan yang tentunya tuhan akan mencatatkan takdirnya sendiri pada setiap orang yang dipilihnya untuk melindungi suara-suara tuhan, sehingga terciptalah Demokrasi sesuai tuntunan Tuhan. ‘ vox populi vox dei’.