Penulis: Zulkarnain Hasanuddin, SE., MM.(Founder Garansi Institute)
Golput yang merupakan akronim dari golongan putih merupakan sikap yang dilakukan oleh warga negara yang telah masuk sebagai pemilih namun tidak ikut menyalurkan suaranya (memilih).
Tidak ikut memilih ini dilakukan secara sadar (keyakinan), atau mungkin karena dimobilisasi, dan boleh jadi dengan alasan lain.
Walaupun dalam perundang-undangan kita, hal ini tidak dikenal dengan istilah golput. Istilah yang dikenal adalah tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Menyalurkan suara (hak pilih) dalam setiap hajatan demokrasi lima tahunan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusiz baik dalam UUD 1945 maupun UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga warga negara (pemilih) memiliki otoritas penuh untuk menggunakan haknya atau tidak dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum.
Apakah golput dilarang?
Jika kita berbicara mengenai golput, maka hal ini akan berkaitan dengan hak politik (political rights), yaitu hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang pribadi maupun anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri, dan memegang jabatan umum dalam negara.
Hak politik juga dapat diartikan sebagai hak dimana individu dapat memberi andil melalui hak tersebut dalam mengelola masalah negara atau pemerintahan. Sehingga, jika rakyat golput tentu adalah haknya dan tidak ada hukum yang melarangnya, termasuk bukan perbuatan yang berdampak pada pelanggaran kategori pidana.
Namun, golput tentu akan memberikan dampak yang tidak baik karena akan berpengaruh terhadap legitimasi pemerintahan yang terpilih, karena esensi dari demokrasi adalah bagaimana partisipasi publik dalam memberikan mandat pada pejabat publik sebagai wakil mereka (rakyat) untuk membuat kebijakan publik. Selain itu, juga akan terpilih pemimpin yang tidak kredibel, dan lain-lain.
Berbeda jika seseorang memberikan pengaruhnya pada orang lain, dengan menjanjikan memberi uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 187 A ayat 1 UU 10/2016.
Pada Pasal 73 ayat 4, perbuatan tersebut masuk sebagai kategori pelanggaran pidana dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dengan denda paling sedikit Rp200.000,000,- atau paling banyak Rp1.000.000.000,-.
Dalam Pasal 187 A ayat 2, juga berlaku pidana yang sama pada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pemberian atau janji sebagai mana penjelasan pasal 187 A ayat 1.
Dampak lain ketika masyarakat sebagai pemilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) yang mencakup keberlangsungan pemerintahan dan demokrasi, yaitu segi jalannya pemerintahan dapat terganggu karena rendahnya trust atau kepercayaan rakyat terhadap pemimpin yang terpilih dan dapat berakibat pada ketidakstabilan dan ketidakoptimalan program yang diusung.
Sehingga, sebisanya setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dapat berkontribusi dalam menjaga dan merawat demokrasi kita, tetap ikut berpartisipasi dalam menggunakan haknya setelah melakukan istikharah politik, dan mengulik visi, misi, dan program pasangan calon sebagai cara paling ideal dalam menyeleksi untuk memilih pemimpin yang diyakininya terbaik dalam memimpin pemerintahan lima tahun kedepan.