Para peserta menunggangi kudanya masing-masing lalu diarak. Foto: Alwi.
Majene, mandarnews.com – Dalam rangka memeringati Hari Jadi Majene yang ke-477 serta Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-77, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majene menggelar Festival Budaya Saeyyang Pattu’du’.
Pelaksanaan Festival Pattu’du’ ini dipusatkan di Stadion Prasamya Mandar Majene dengan menempuh jarak 1.9 kilometer dimulai dari panggung kehormatan di depan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2 Majene, belok kanan ke arah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK 2) Majene, belok kanan menuju Jalan Wolter Monginsidi, belok kiri ke jalan Melati, belok kanan ke arah Pasar Sentral atau di depan Masjid Pakkola, kemudian belok kanan ke Jalan Kanjuha hingga ke jalan Yonggang, belok kanan ke Jalan A.P Pettarani dan kembali ke panggung kehormatan.
Sebanyak 93 ekor kuda menari dan 35 delman dilibatkan dalam pagelaran ini dengan peserta perwakilan 62 desa ditambah 20 kelurahan dari 8 kecamatan serta para pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), para kepala bagian Sekretariat Daerah, termasuk tiga pimpinan daerah, yaitu Bupati, Wakil Bupati, dan Sekretaris Daerah Majene.
Bupati Majene Andi Achmad Syukri Tammalele (AST) mengatakan, Festival Saeyyang Pattu’du’ adalah salah satu bentuk atau upaya menjaga dan melestarikan budaya Mandar.
Apalagi, saeyyang pattu’du’ merupakan warisan budaya Mandar yang tentu perlu terus didukung dan dilestarikan agar tidak punah.
“Ini menjadi momentum untuk mengingatkan kembali bahwa kita punya kekayaan yang luar biasa, yaitu kekayaan tradisi budaya,” ujar AST.
Ia menuturkan bahwa Festival Saeyyang Pattu’du’ akan kembali dilakukan dan akan menjadi event tahunan sepanjang masih bisa dilakukan.
“Semoga ini juga bisa menarik wisatawan untuk datang ke Majene,” sebut AST.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Rustam Rauf menyampaikan, kecanggihan teknologi dan transportasi yang ada saat ini sepertinya akan menggeser transportasi tradisional seperti bendi atau delman yang menggunakan kuda sebagai mesinnya sehingga ia berharap melalui event seperti ini budaya Mandar dapat terus terjaga dan dilestarikan.
“Makanya kami berharap ini salah satu upaya untuk pelestarian budaya. Kedepan kami mempunyai program kerja agar di Pantai Barane dan Datoq akan ada jalur yang tidak bisa dilalui kendaraan umum tapi yang mengantar adalah bendi atau delman,” jelas Rustam.
Ia pun berharap agar para pemilik kuda tetap memelihara dan melatih kudanya karena ada wadah untuk itu.
Dalam Festival Saeyyang Pattu’du’, semua kuda yang tampil dihiasi secantik mungkin. Begitu pun pessawe atau orang yang menunggangi kuda berpakaian semenarik dan secantik mungkin sesuai dengan adat Mandar.
Kuda-kuda yang menari ini diiringi musik khas yang terkenal di Mandar yakni rebana. Mereka yang memainkan musik rebana biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang atau sesuai grup masing-masing.
Biasanya terdapat juga pakkalindaqdaq atau pemberi pantun, baik kepada si penunggang kuda ataupun tamu terhormat lainnya.
Agar aman, pessawe dijaga dan dipegang oleh empat orang yang disebut passarung. Sementara pemilik kuda tetap berada dalam kelompok ini untuk mengarahkan kudanya.
(Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia