Sejauh manakah kebebasan perempuan hingga hari ini ? Cobalah ke kantor-kantor pelayanan publik seperti dinas-dinas, badan-badan, dan institusi pelayanan publik lainnya. Kemudian lakukanlah pendataan banyak mana antara laki-laki atau perempuan yang menduduki jabatan struktural sebagai kepala atau pimpinan. Nah, Anda pasti sudah menemukan jawabannya.
Sejauh mana dominasi perempuan atas laki-laki ataupun sebaliknya. Mana di antara dua jenis manusia itu yang lebih dominan atas yang lain. Bahkan di dalam negara kota (polis) Yunani Kuno, perempuan dan anak-anak tidak merupakan warganegara. Di kampung penulis sendiri, yang bersuku Mandar ini, sudah menjadi keharusan bahwa laki-laki memang mesti dominan atas perempuan. Siapa yang tidak kenal dengan ungkapan: “kamu tidak beristri, tapi kamu bersuami.” (Andango mebaine, tapi memmuaneo). Kalimat ini sering dilontarkan kepada laki-laki yang tampak kalah dari istrinya. Artinya inilah kebudayaan dan sudah mendarah daging bahwa laki-laki memang mesti dominan.
Pernahkah Anda sekalian berpikir mengapa mayoritas teman di media sosial (medsos) banyak yang jualan ? Dan kebanyakan dari mereka yang memenuhi kabar berita di akun medsos anda ialah perempuan. Perempuan lebih aktif menampilkan dirinya di medsos ketimbang laki-laki.
Penulis hendak mencoba menguak beberapa kenyataan di balik realitas tersebut yang penulis telah temukan sendiri. Jadi, analisis yang dituangkan dalam tulisan ini hanya merupakan pengamatan penulis sendiri, dan tidak menggunakan hasil survei lembaga mana pun.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perempuan memang memiliki lebih banyak kebutuhan pokok untuk merawat diri ketimbang laki-laki. Laki-laki tidak butuh lipstik, pembalut kelamin, BH, serta alat-alat tata rias lainnya. Sedangkan bagi perempuan tentu saja butuh akan itu semua.
Mungkin sudah tidak sedikit lagi orang tahu bahwa perempuan –tentu saja juga laki-laki–namun lebih kebanyakan perempuan yang jualan via online lantaran tak memiliki modal. Oleh karenanya mereka memilih hanya menjadi agen. Artinya mereka sekadar cari aman. Maka dengan memanfaatkan medsos seperti instagram, whatsapp, facebook, dan sebagainya mereka memasarkan barang orang lain.
Akan tetapi mungkin hanya sedikit yang tahu bahwa saat ini perempuan memang wajib jualan via online sebab mereka punya tanggungan. Mereka harus membiayai pacarnya yang malas nan manja. Pacar mereka yang malas nan manja, mayoritas ialah pengangguran. Dan pelarian yang paling mudah bagi perempuan tentu saja jualan via online. Ini sebenarnya memperjelas bahwa sesungguhnya naluri perempuan memang jauh sangat tajam dibanding laki-laki dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok.
Anda juga bisa menemukan kebenaran tersebut di TV. Lihatlah kehidupan singa yang jantannya hidup bermalas-malasan sedang betinanyalah yang kerja keras untuk menghidupi anak-anak mereka.
Selain kenyataan di atas, juga masih banyak hal lain yang membuktikan mengapa perempuan di zaman now alias sekarang mesti jualan via online. Ada sesuatu yang sangat mendasar bagi perempuan yang membuatnya harus jualan via online.
Penulis menduga, ketakutan menjadi perawan tua bagi perempuan memaksanya untuk bekerja keras agar dapat menabung setidak-tidaknya untuk membantu pacarnya meringankan beban ‘uang panaik’ bagi dirinya. Uang panaik telah menjadi sesuatu yang mengerikan bagi laki-laki di zaman sekarang dan sekaligus sebagai penjara bagi perempuan. Sebab, beban uang panaik bagi laki-laki juga merupakan ancaman bagi perempuan yang sewaktu-waktu bisa saja membuatnya tidak berjodoh atau bahkan menjadi perawan tua.
Pertanyaannya, lalu di manakah ruang kebebasan perempuan dengan melihat kenyataan di atas? Masih adakah sejengkal pun ruang bagi mereka untuk menyatakan kebebasannya atau bagaimanakah seharusnya perempuan bertindak agar dapat keluar dari kondisi ketertindasannya? Dapatkah kegiatan jualan via online dianggap sebagai manifestasi kebebasan bagi perempuan?
—-