Teras rumah berukuran 4m x 8m milik seorang pendidik di Pelattoang, Hairil Arham Muis Mandra, ditata sedemikian rupa untuk sebuah penyelenggaraan diskusi sebagai akhir dari kegiatan berbagi buku ke pedalaman oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Majene Yogyakarta (IPMMY), Jum’at (5/2). Uniknya, asesoris yang menghiasi teras yang disulap bak panggung itu, lebih didominasi oleh cermin kaca.
Yah, cermin. Panggung itu memang mengajak orang untuk bercermin tapi bukan tujuan untuk bersolek. "Mari Bercermin" salah satu maknanya, kata Arham, adalah tidak selamanya orang berdasi atau menggunakan plat merahlah yang bisa membantu, namun itu tergantung keikhlasan.
Arham menjelaskan bahwa siapa pun jika memiliki kemauan dan keikhlasan pasti ada jalan untuk memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Seperti yang dilakukan oleh IPMMY yang notabene belum berpenghasilan tapi sudah dapat menyalurkan bantuan.
Setelah kegiatan membagi buku di pedalaman Majene, saatnya IPMMY kembali ke kampus masing-masing. Mereka : Riandy Aryani, Zulfajrin, & M. Ihsan Tahir akan kembali ke Yogyakarta. Dan mahasiswa serta pelajar lainnya juga akan kembali ke daerah masing-masing. Tapi mereka menggelar diskusi terlebih dulu sebelum bubar untuk kembali ke kampus.
Dalam diskusi, dewan pembina IPMMY, Hairil Arham menyebut waktu yang dibutuhkan membagi buku ke pedalaman selama enam hari. Buku kurang lebih 1000 itu dibagikan ke tiga titik yaitu Popenga wilayah Kecamatan Ulumanda, Ratte Tarring wilayah Kecamatan Tammeroddo, dan Coci wilayah Kecamatan Pamboang.
Buku-buku itu tidak hanya untuk komsumsi anak sekolah tapi juga bisa dibaca berbagai kalangan, remaja hingga dewasa. Buku-buku itu didapat dari hasil kerja keras, salah satunya dengan cara mengamen.
"Ada pula yang diperoleh dengan membuat ‘proposal’ hanya dua buah carik kertas yang diisi tinta hitam, bertuliskan mirip surat cinta yang menggugah kemudian dimasukan ke dalam sebuah amplop, ditujukan kepada penulis buku-buku tersebut," kata Riandy.
Kegiatan membagi buku dilakukan hanya untuk kepedulian dan mengaplikasikan diri mereka di dunia pendidikan, khususnya di tanah kelahiran mereka yang jauh tertinggal dibanding daerah-daerah Jawa.
Dalam diskusi itu pula terungkap bahwa masih ada murid kelas VI SD yang belum bisa membaca apalagi menulis. Penyebabnya, minimnya tenaga pendidik dan waktu belajar. Padahal menurut Arham, berdasarkan data dari Pemda tenaga pendidik sudah memenuhi kuota.
Riandy, dalam diskusi, mengaku miris dengan kondisi pendidikan di tiga wilayah yang mereka sasar. Menurutnya, bisa jadi wilayah lain yang tak terjangkau bisa lebih parah.
"Bagaimana dengan wilayah yang lebih dalam lagi (yang tak terjangkau) sedangkan yang masih terjangkau sudah seperti itu kondisinya," kata Riandy.
Diskusi ini sebenarnya mengundang dua anggota DPRD Majene yakni Darmansyah (Ketua DPRD) dan Adi Ahsan (Ketua Komisi III). Tapi keduanya tidak sempat hadir.
Penyelenggara kegiatan ingin berbagi pengalaman yang mereka temui selama proses pendistribusian buku di tiga wilayah. Sekaligus berharap kepada kedua legisltor itu dapat menjadi penyambung informasi kepada Pemkab Majene terkait buramnya pendidikan diwilayahnya.
Diskusi ini ditutup dengan membaca puisi karya Abd. Muis Mandra yang berjudul "Eh Inggannana Narakka La’la". Isi puisi tersebut mengandung makna kritikan terhadap pemerintah, untuk mengajak benar-benar memperhatikan rakyatnya. (haslan)