“Saya ini sudah telanjur sarjana 15 tahun yang lalu. Ilmu saya 15 tahun yang lalu sudah ketinggalan, tidak laku lagi hari ini. Kita mau hidup hari ini, mengubah alam, memproduksi barang dan jasa bisa bergerak segala macam, ya harus berpengetahuan, harus punya ilmu baru. Apa saya harus balik S3 lagi? Pasti saya harus membaca dengan berbagai jenis bentuk dan wujudnya,” ucap Bahtiar.
Maka, menurutnya, membangun dan menguatkan budaya literasi perlu gerakan bersama semua elemen yang saling mendukung.
“Pihak perpustakaan dengan kewenangannya. Pun, Kemendagri dengan otoritasnya mendorong dan membina pemerintah daerah untuk menguatkan budaya literasi. Begitu juga dengan pers,” tutur Bahtiar.
Tujuannya, dibeberkan Bahtiar, supaya ada kesadaran baru karena tahu situasinya sudah berubah.
“Cepat sekali perubahan itu, tidak bisa lagi kita hanya mengandalkan yang formal, dan bagaimana membangkitkan dukungan partisipasi warga negara untuk juga menyiapkan dan menyediakan layanan-layanan perpustakaan yang tak mampu disiapkan oleh negara. Siapa yang menyiapkan itu? Mungkin dari rumah kita masing-masing, ada yang membantu. Ini yang harus kita gerakkan bareng. Pak Mendagri sendiri sangat mendukung, mengapresiasi dan respek yang tinggi kepada pimpinan Perpustakaan Nasional Indonesia dan jajarannya,” tukas Bahtiar.
Ia mengemukakan, dengan kewenangan yang dimiliki, Kemendagri akan terus mengingatkan pemerintah daerah agar menaruh perhatian terhadap pentingnya menguatkan budaya literasi lewat perpustakaan.
“Sangat penting daerah punya pustakawan selain memiliki perpustakaan sendiri yang memadai,” ungkap Bahtiar.
Ia memaparkan, negara ini bisa bertahan karena mempunyai ilmu pengetahuan, kemampuan untuk mengelola alam, peradaban baru.
“Kalau tidak ya suatu ketika peradaban ini musnah karena ketidakmampuan mengolah perubahan. Perubahan itu ya dari bahan bacaan, dari literasi,” tutup Bahtiar.
Editor: Ilma Amelia