Illustrasi menggunakan ai
Pilkada serentak 2024 yang diikuti 545 wilayah kabupaten kota dan propinsi di tanah air semakin mendekat, dan sekali lagi kita bersiap untuk menyaksikan drama besar-besaran yang mungkin lebih menarik daripada sinetron primetime. Bukan hanya pertarungan antara kandidat pasangan calon atau partai politik yang memicu adrenalin, tetapi juga bagaimana media massa memainkan peran penting—atau seharusnya penting—dalam menjaga Marwah dan prinsif demokrasi agar tetap waras.
Masalahnya, di Indonesia, netralitas media sering kali lebih menjadi bahan mimpi daripada kenyataan. Apa sebabnya? Seperti kata pepatah lama: “Di belakang setiap berita, ada pemilik modal yang mengintip dengan senyum lebar.”
Jadi, mari kita bedah bersama bagaimana hubungan media dan politik di Indonesia, dampak pemberitaan partisan pada persepsi pemilih, dan strategi apa yang mungkin bisa dilakukan agar media tidak terjebak menjadi pelayan setia oligarki politik.
Karena artikel ini mungkin agak panjang, sebaiknya anda menyiapkan secangkir kopi. Tapi jangan khawatir, ada sedikit humor sarkastis tapi tetap berusaha riang gembira di tengah perjalanan!
Hubungan Media dan Politik di Indonesia: Siapa Sebenarnya yang Memimpin?
Hubungan antara media dan politik di Indonesia bak hubungan yang “complicated” di media sosial—terlihat mesra di depan umum, tetapi penuh drama di belakang layar. Menurut Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia : Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (2017), media di Indonesia telah menjadi alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Para pemilik media sering kali juga memiliki afiliasi politik kuat, entah langsung atau melalui jaringan keluarga yang luas. Alhasil, media kita lebih mirip papan reklame raksasa untuk kampanye politik terselubung daripada corong informasi yang objektif untuk membela kepentingan konstituen pembaca atau penontonnya.
Lihat saja sejarah Pemilu di Indonesia. Sejak Pemilu 1999 hingga yang terbaru, media massa selalu memiliki kecenderungan memihak kepada kandidat tertentu. Tidak jarang, stasiun televisi A tiba-tiba berubah menjadi alat propaganda kandidat X, sementara stasiun televisi B menjadi cheerleader setia kandidat Y. Berita yang seharusnya informatif justru menjadi ajang endorsement terselubung, lengkap dengan bumbu-bumbu emosi untuk yang menggerakkan massa.
Dan jangan lupa, media digital juga tidak lepas dari permainan ini. Beberapa portal berita online besar dikelola oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik. Ini bukan rahasia lagi. Bahkan, kadang portal berita tertentu bisa tiba-tiba menjadi “corong” resmi bagi salah satu partai politik tanpa perlu menyebutkan di judulnya. Akibatnya? Kita para pemirsa, penikmat berita, dipaksa mengonsumsi narasi yang diramu sedemikian rupa agar mendukung kepentingan pemilik media, bukan mengabdi setia pada kebenaran. Dampak Pemberitaan …. baca selanjutnya klik 123