Dampak Pemberitaan Partisan pada Persepsi Pemilih : Ketika Fakta Berbelok
Pemberitaan partisan tentu saja bukan hanya soal siapa yang menguasai media, tapi juga bagaimana media mempengaruhi persepsi pemilih. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam buku mereka Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (2010), menggambarkan bahwa di Indonesia, pemberitaan media sering kali menjadi penentu bagaimana kandidat dipandang oleh masyarakat.
Media yang bias bisa membuat seorang kandidat tampak seperti pahlawan meskipun rekam jejaknya penuh kontroversi, atau sebaliknya, membuat kandidat yang kompeten tampak seperti penjahat ulung.
Dampaknya jelas, pemilih tidak mendapatkan informasi yang seimbang dan objektif, melainkan disuapi narasi yang telah dikurasi dengan hati-hati untuk membentuk opini tertentu. Jadi, jika Anda bertanya-tanya mengapa tetangga Anda tiba-tiba yakin bahwa calon atau kandidat pilihan mereka adalah “penyelamat bangsa” meskipun fakta berbicara lain, Anda mungkin harus melihat lebih dekat ke mana mereka mendapatkan berita mereka. Media yang tidak netral bisa mengubah persepsi publik dan sumber yang memecah belah masyarakat.
Kasus nyata? Mari kita lihat kilas balik ke Pemilu 2014 dan 2019. Di salah satu stasiun televisi terkenal, kita bisa melihat betapa satu kandidat diperlakukan bak idola pop, dengan liputan positif tanpa henti, sementara kandidat lain hanya muncul ketika ada skandal atau kontroversi yang membelitnya.
Hasilnya, pemirsa stasiun tersebut hampir pasti sudah “terprogram” untuk memilih salah satu kandidat, bukan berdasarkan visi-misi atau kompetensi, tapi karena narasi emosional yang terus-menerus diulang.
Strategi Menjaga Netralitas Media dalam Menghadapi Pemilu?
Pertanyaannya, bagaimana media bisa menjaga netralitas, terutama saat menghadapi pilkada atau Pemilu 2024? Bukankah netralitas media hanyalah dongeng yang diceritakan oleh dosen ilmu komunikasi di kampus?
Sebenarnya, menjaga netralitas bukanlah tugas yang mustahil—tapi memang nyaris demikian. Salah satu langkah pertama yang bisa diambil adalah meningkatkan transparansi. Pemilik media harus dengan jelas menyatakan afiliasi politik mereka, sehingga masyarakat tahu narasi apa yang mungkin tersembunyi di balik berita yang disajikan. Ketika pemirsa tahu siapa yang ada di balik layar, mereka bisa lebih kritis dalam mencerna informasi.
Selain itu, media juga bisa menerapkan standar jurnalisme yang ketat dalam liputan politik. Ini berarti memberikan porsi yang sama untuk setiap kandidat atau partai, tanpa condong ke salah satu pihak.
Tentu saja, ini bukan berarti harus memanipulasi fakta agar terlihat seimbang, tapi lebih pada memberikan ruang yang adil bagi semua pihak untuk menyuarakan pandangan mereka.
Untuk media digital, langkah ini bisa diperkuat dengan verifikasi fakta yang ketat dan independen. Di era hoaks seperti sekarang, media harus menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa berita yang disebarluaskan adalah benar dan tidak bias. Ini juga berarti melawan tren clickbait yang sering kali digunakan untuk memancing emosi pembaca, bukan untuk memberikan informasi yang akurat.
Dan yang terakhir, mungkin inilah bagian paling sulit: media harus berani menolak tekanan dari pemilik modal atau aktor politik yang ingin memanipulasi pemberitaan. Di sinilah integritas jurnalisme diuji. Di sinilah integritas dan kemandirian ruang redaksi dijuji. Meskipun ini terdengar idealis, namun langkah ini penting jika media ingin tetap menjadi pilar keempat demokrasi. Contoh Nyata …..