Makanan Mandar di Australia: Buras tituyuq gulang
Oleh: Nurhira Abdul Kadir
Ada seorang professor psikologi jadul bernama Abraham Maslow. Pada era 1940-an, Maslow membuat teori yang sangat terkenal bernama teori hirarki kebutuhan hidup manusia. Teori ini kerap digambarkan sebagai piramida, di mana pada bagian paling dasar piramida itu, tinggallah kebutuhan yang dipandang sebagai kebutuhan dasar hidup, yaitu kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis ini, termasuk di dalamnya adalah makan.
![](https://i1.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2020/05/maslow-300x251.png?resize=300%2C251&ssl=1)
Jika dibanding dengan bahasa, makanan kerap dinomor-sekiankan dalam urutan ciri budaya. Padahal, makanan adalah sentral dalam sebuah kebudayaan, bahkan menjadi identitas kelompok. Makanan bersifat sakral. Makanan kita bahkan menandai ideologi yang kita anut.
Boleh jadi pelik memahami bagaimana makanan merupakan penciri budaya dan bahkan identitas kita. Hanya, ketika harus makan semeja dengan orang dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan ras, barulah terasa, bahwa selera dan syarat-syarat makanan setiap orang adalah unik, khas terhadap kelompok di mana orang tersebut tergabung.
Untuk di negara – negara yang multikultural, jika ingin menghadiri suatu acara, tamu kadang ditanyai dulu makanan apa yang mereka bisa makan. Sebab, ada yang memiliki alaergi makanan, ada yang muslim dan makanannya harus yang halal, ada yang yahudi makanannya harus kosher, atau ada vegetarian dan vegan yang berpantang daging.
![](https://i1.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2020/05/20150517_121910.jpg?resize=640%2C360&ssl=1)
Tidak jarang di meja, setiap orang perlu mengecek dulu baik-baik label makanan. Mana yang halal, mana yang vegetarian, mana yang non gluten, mana yang tak mengandung kacang. Selain pake label berupa stiker, ada juga yang memakai label jepitan saja.
***
Jika ingin makan yang persis sesuai selera, pilihannya adalah mencari restoran masakan Indonesia, atau memasaknya sendiri.
Ada cukup banyak bahan – bahan makanan yang cocok untuk selera Mandar yang bisa dipilih. Mengapa? Karena ada yang namanya Asian grocery, alias toko bahan makanan Asia. Di toko ini, ada santan kaleng, ikan bulalia beku, singkong beku, ada juga minyak kelapa. Minyaknya bergumpal, warna putih, tapi jika dipanaskan, meleleh dan baunya harum, persis minyak kelapa Mandar.
![](https://i1.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2020/05/Dong-Phuong.jpg?resize=640%2C480&ssl=1)
Jadi selama Ramadhan ini, meski ada pembatasan ruang gerak akibat Covid-19, upaya memenuhi selera tetap bisa jalan. Sebelum pembatasan diberlakukan sangat ketat, saya sempat berkunjung menghadiri suatu arisan warga Sulawesi di Sydney.
Pada acara arisan dengan tuan rumah pak Firdaus, keluarga Mandar asal Mambu, Polewali Mandar, ibu rumah menyediakan aneka penganan dan makanan utama dari berbagai wilayah Indonesia. Memang beliau terkenal pandai memasak bahkan menerima pesanan catering yang sangat diminati bukan hanya keluarga Sulawesi tetapi warga lainnya.
Dalam acara itu, ada penganan kecil yang menjadi primadona di hati semua tamu. Masih dicari, ternyata sudah habis. Itulah kue cucur. Penganan goreng berbahan dasar tepung dan gula merah. Kelihatannya bahannya sederhana, tapi menurut yang saya dengar, ini termasuk kue yang memerlukan skill yang tinggi. Jika suhu minyak dan kekentalan adonan tidak pas, kue cucur akan blenyek, atau bisa juga menyerap minyak sehingga tidak enak rasanya.
Cukup banyak makanan Mandar yang bisa dinikmati di rantau. Hanya memang perlu modifikasi-modifikasi. Rasanya tentunya tidak persis sama, tetapi cukup dapat merintang rasa rindu.
Bau piapi, misalnya, tetap dapat dibuat di sini. Tapi ikannya bukan seperti yang dikenal di Mandar: bulalia, layang, atau bolu. Mungkin ikannya bisa diganti dengan tuna, atau ikannya orang sini, ikan basa dan barramundi. Sebenarnya ada juga ikan yang mirip-mirip ikan dari Mandar dan dijual di Asian grocery. Tetapi karena sudah beku dan bentuknya kurang menarik, ini kerap tidak jadi pilihan untuk menu bau piapi.
Tak jarang, demi meraih citarasa yang sama dengan makanan tanah air, bumbu yang tidak ada di Australia dibawa dari Mandar. Hanya, ini perlu waspada. Harus dideklarasi di imigrasi. Jika tidak dendanya amat besar.
Saya pernah mencoba membawa bumbu dari Mandar sekali. Alhamdulillah, paissang (asam mangga) yang saya bawa diloloskan petugas. Jadi bisa masak baupiapi secara sedikit lebih akurat.
***
Terutama dalam bulan Ramadhan ini, sekali lagi, yang dirindukan bukan hanya hangatnya suasana puasa di Mandar tapi juga makanannya. Terkenang kue-kue buka puasa yang tiada bandingnya.
Sebelum Ramadhan, anak-anak minta saya belajar bikin buras. Makanan istimewa terbuat dari beras, santan, berbungkus daun pisang dan direbus lama.
Membuat buras ternyata rumit juga. Supporter harus dilibatkan dari Mandar agar memberi petunjuk step by step melalui WA call. Setelah berhasil menemukan daun pisang di salah satu Asian grocery, kami optimis bisa memasak buras.
Sudah semangat mengaduk beras dengan santan. Pas bersiap bungkus buras, baru sadar ternyata tidak ada pituyuq alias pengikat.
Menurut supporter di Mandar, pituyuq harus terbuat dari tali rafia.
“Jadi tidak bisa benang di?” Sahut saya mulai gusar.
“Tidak. Nanti daunnya robek.”
Wah, gawat.
![](https://i1.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2020/05/buras.jpg?resize=500%2C332&ssl=1)
Segala alternative mulai dipikirkan. Khas orang kepepet. Tak disangka, teringat ada gulang (tali jemuran) disimpan di atas lemari. Dulu dipakai untuk mengikat barang-barang dalam bagasi agar tidak terbongkar bongkar waktu dioper-oper di airport.
Mengikat buras dengan gulang di tanah Mandar mungkin bisa dianggap semacam kurang waras. Tapi apa boleh buat. Kalau di Australia, buras diikat gulang pun bolehlah.
![](https://i2.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2020/05/buras-gulang.jpg?resize=640%2C853&ssl=1)
Alhamdulillah, ternyata, proses tak menghianati hasil. Jadi juga menyantap buras. Rasanya sama. Tetapi yang ini, gulang pituyuq na.***
(Bagian sebelumnya tentang pemuda Samasundu mermbah Australia, dan bagian berikutnya, bagian kelima, bercerita sekelumit kisah orang Mandar berpuasa di Australia)
Keiraville, 9 Mei 2020
Penulis berasal dari Somba, Majene, Sulawesi Barat. Kindoq tiga anak ini sedang belajar di School of Health and Society, the University of Wollongong, Australia.