
Penulis : Abd. Azis Fadli
Organisasi : Taman Baca Boyang Manarang,
Dusun Sederhana
Kec. Matakali
Kab. Polman
Mengamati pendidikan zaman modern, sebagian peserta didik bahagia memperoleh ilmu melalui belajar secara berkelompok, tujuannya dapat berdiskusi membuka cakrawala berpikir. Pendidikan mampu mengatasi kebodohan dan kemiskinan melalui semangat belajar untuk merubah tatanan kehidupan melalui pendidikan.
Sebagai orang tidak mampu menjalankan pendidikan memiliki kendala mengenai biaya, lebih memilih pengangguran dibanding bersekolah.
Menjalankan pendidikan sudah termaktub dalam tatanan kewajiban masyarakat nusantara untuk aktif merubah tindakan peserta didik.
Sebagian peserta didik merubah identitas diri, tapi lagi-lagi pengaruh ekonomi menjadi problem dalam pendidikan. Wajar saja jika pemikiran yang terbangun dalam pola pikir culas otomatis bergerak tidak memberikan cerminan yang ideal faktor ekonomi yang lemah.
Tangisan dari sudut Nusanatara sudah terasa sebagian peserta didik menjalani pendidikan sampai dengan tingkat sekolah dasar. Ketika peserta didik memiliki jenjang pendidikan sampai dengan sekolah dasar otomatis dalam melakoni sebuah perubahan karakter tidak mampu berubah karena pengetahuan tentang pendidikan hadir dalam otak sementara setelah demikian, pengetahuan hilang begitu saja.
Pemerintah hadir di tengah-tengah peserta didik memberikan motivasi sebagai pondasi untuk memiliki tujuan melanjutkan pendidikan berikutnya.
Pendidikan semakin tinggi otomatis jati diri manusia akan berkarakter karena pengaruh tingginya pengetahuan peserta didik. Mengamati Di era moderen pendidikan berperang dibutuhkan masyarakat karena mampu merubah karakter, buktinya sebagian manusia memiliki gelar doktor atau master prilakunya semakin bijak terhadap sesama, dan ego dileburkan untuk tidak menhukumi seseorang menjas menyerupai binatang.
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti.
“Bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich.
Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status quo. Dan ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting. Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan.
Bisa saja, Illich dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Peserta didik dahulu kala menganggap bahwa menjalankan pendidikan memiliki kelas berarti mengikuti pendidikn ala barat padahal seyognya pendidikan tidak boleh memandang sebelah mata, pendidikan semua baik ketika tujuannya mencerdaskan bangsa dan mendidik regenerasi menjadi cerdas.
Merubah karakter peserta didik harus memperlihatkan sikap positif seperti sopan santun, bermoral dan beragamawis otomatis prilaku mengantarkan peserta didik berkarakter.
Terjadi secara fakta sebagian peserta didik tidak berpendidikan biasanya memiliki sikap jauh berbeda dengan orang berpendidikan karena moral lebih dominan melekat dalam jiwa peserta didik.
Sungguh mangagumkan generasi yang melanjutkan wadah pendidikan mampu membangun nilai moral ditengah kondisi masyarakat, sehingga memiliki sikap action mengarah kepada hal yang positif. Ketika ego yang dijadikan sebagai subtansi dalam perubahan otomatis prilaku jauh dari cerminan realitas sosial.
Cendikiawan muslim memiliki pengetahuan yang tinggi, bersikap seperti dengan pahlawan menghalau para kolonialisme ingin merebut kekuasaan bangsa.
Mengamati prilaku cendikiawan memiliki tindakan mengutamakan dengan kelembutan dalam berargumentasi karena merubah karakter peserta didik secara totalitas. Sopan santun dan kelembutan dibangun dalam dunia pendidikan kedepan untuk tidak mencelah atau menuding seseorang bodoh maupun kafir, biasanya manusia seperti ini memiliki pengetahuan belum mencapai titik klimaks sehingga mengedepankan sikap mencelah terhadap sesama.
Prilaku seperti demikian, tidak membangun karakter peserta didik karena mengutamakan sikap tidak selaras norma pendidikan sebagaimana mestinya. Pendidikan lebih berwarna jika semua anak Indonesia mengutamakan prilaku yang ideal karena mampu memberikan cerminan positif terhadap bangsa. Anak bangsa sebelum mengenal dunia pendidikan seharusnya memperkenalkan pembentukan moral terhadap kedua orang tua tujuannya dapat tersimpan ke alam bawah sadar prilaku moral sebelum beranjak dewasa.
Prilaku moral semestinya menjadi ajaran terhadap peserta didik untuk dapat membentuk karakter terbawa sampai dewasa, akhirnya dapat membentuk peradaban lewat pembangunan karakter.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.
Moral pondasi dalam menanamkan pemikiran peserta didik sebagai konsep awal dalam jenjang pendidikan, namun setelah berada pada pendidikan selanjutnya semestinya memperkenalkan peserta didik terhadap pembelajaran mengenai sikap moral untuk dapat berprilaku sopan terhadap sesama, pendidikan yang sudah berada pada jenjang SMA dan perguruan tinggi sudah diperkenalkan pada prilaku moral, tujuannya agar dapat mengaktualkan karakter ditengah sosial.
Ketika sudah bisa melakukan secara keseluruhan mengenai tingkatan moral, peserta didik akan menampakan prilaku membangun dan bijak dalam berprilaku terhadap sesama manusia.
Pendidikan saat ini seharusnya selalu selaras dengan moral sebagai landasan dalam menghadapi pengaruh budaya yang dapat merusak pola pikir yang ideal terhadap peserta didik. Carut marut pendidikan jika peserta didik jauh dari sikap moral dampaknya dapat merusak pola pikir mereka yang akhirnya hidup dalam dunia hedonisme yang tidak mengutamakan sopan santun terhadap sesama manusia.(*)