
“Selain itu, karena menggunakan frasa paling lama 8 jam 1 hari. Bisa saja hanya dipekerjakan 4 jam dalam sehari (kurang dari 8 jam), dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan satuan waktu,” sebut Iqbal.
Alasan kedua, tambahnya, di dalam RUU Omnibus Law juga diatur, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan waktu kerja untuk jenis
pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
“Dengan kata lain, ketentuan ini melegalkan jam kerja melebihi 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu,” ucap Said.
Ia menerangkan, meskipun dikatakan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun hal ini membuka celah terjadinya jam kerja yang eksploitatif.
“Ketiga, adalah mengenai waktu kerja lembur. Dalam RUU Omnibus Law, lembur paling banyak 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam 1 minggu,” tukas Said.
Padahal, dituturkan Said, dalam UU No 13 Tahun 2003, lembur hanya boleh 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.
“Mempekerjakan buruh melebihi dari waktu kerja harus dihindari agar buruh punya waktu yang cukup untuk istirahat. Kalau buruh diminta bekerja lebih lama, bagaimana dia bisa beristirahat cukup?” papar Said.
Oleh karena itu, buruh Indonesia dan KSPI dengan tegas menolak RUU Omnibus Law secara keseluruhan dan meminta Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara arif dan bijaksana tidak mengesahkan beleid yang berpotensi mendegradasi kesejahteraan kaum buruh ini.
Editor: Ilma Amelia