Namun sayangnya, lanjut Said, di dalam RUU Cipta Kerja, pengusaha hanya diwajibkan membayar upah pekerja yang tidak masuk bekerja dengan alasan sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan;
b. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha;
c. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri atau halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; atau
d. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya.
“Dengan membandingkan apa yang diatur dalam RUU Cipta Kerja dan UU No 13 Tahun 2003, bisa kita lihat dengan jelas ada beberapa cuti yang hilang, misalnya haid, pekerja menikah, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, menjalankan tugas negara, hingga menjalankan kewajiban ibadah seperti haji,” sebut Said.
Tidak hanya itu, menurut pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini, istirahat panjang selama 2 bulan setiap kelipatan 6 tahun masa kerja juga terancam hilang.
“Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU No 13 Tahun 2003 disebutkan, istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama,” kata Said.
Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja dikatakan, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
“Kata ‘dapat’ di sini mengandung arti, istirahat panjang bukan lagi kewajiban bagi pengusaha. Kalau perusahaan tidak bersedia memberikan atau tidak mau mengatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka buruh tidak akan mendapatkan istirahat panjang,” ucap Said.
Itulah sebabnya, KSPI berpendapat banyak hak buruh yang dihilangkan dalam RUU Cipta Kerja. Oleh karena itu, buruh Indonesia dan KSPI dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja.
Editor: Ilma Amelia