
“Karena Pertamini ataupun pengecer lainnya, bukan cabangnya Pertamina. Mereka berdiri sendiri dan itu masih belum ada izin secara legal untuk melakukan penjualan karena menurut aturan, tidak ada penjual BBM, baik yang subsidi atau lainnya yang dilakukan secara eceran karena harus melalui depot,” sebut Busri.
Ia menjelaskan, Koperindag tidak bisa berbuat banyak karena kewenangan yang dimiliki hanya sebatas mengimbau untuk jangan melakukan pelanggaran.
“Tetapi, untuk efektivitas melakukan ini tentu ada intstansi lain yang bisa lebih tegas memberikan sanksi dan melarang sehingga tidak ada lagi antrian yang menyebabkan kelangkaan,” tutur Busri.
Jika dibandingkan di daerah lain, lanjutnya, tidak ada antrian panjang seperti di Majene. Entah suplai BBM sedikit atau memang ada sekelompok masyarakat yang melakukan permainan, namun Pertamina menyatakan tidak pernah melakukan pengurangan jatah untuk Sulbar. Hanya yang terlalu dominan pedagang eceran yang menyebabkan antrian.
“Saat rapat juga akan dibahas penambahan kuota. Tetapi masalahnya, bagaimanapun banyaknya kuota kalau polanya tidak ditata dengan rapi, maka tetap akan ada antrian. Maka, perlu keterlibatan dan kolaborasi berbagai unsur,” tukas Busri.
Ia menerangkan, alasan masyarakat melakukan hal tersebut karena bisnis kecil itu masih menggiurkan dan keuntungannya pun sangat nampak.
“Meski keuntungannya nampak, namun para pengecer sangat membahayakan dari segi keamanan karena mereka menjual di pinggir jalan, tentu akan rawan bahaya kebakaran,” tutup Busri. (Putra)
Editor: Ilma Amelia