
Penulis : Andi Kaneko Lahir dan menetap di Mandar, Sulawesi Barat.
Alumni Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.
Belajar menulis cerpen, puisi, esai dan naskah drama
Kita semua, terutama saya pribadi, turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas apa yang menimpa Yus Yunus. Supir truk yang meregang nyawa di tangan orang-orang yang biadab. Semoga saja, Yus Yunus ditempatkan di sisi Tuhan yang paling mulia dan pihak keluarga diberi ketabahan dan kesabaran. Dan tentu saja, kita semua berharap, kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Di mana pun, kepada siapa pun.
Kita tentu merasa geram dan gamang atas kejadian ini. Terlebih lagi jika membaca kronologi kejadian di beberapa media daring yang dengan runut menjelaskan bagaimana sampai akhirnya Yunus meregang nyawa. Bahkan, di salah satu media daring menyertakan foto sesosok jenazah yang disandingkan dengan bangkai seekor babi. Biadab sekali.
Kejadian ini disayangkan oleh banyak pihak, terutama pihak keluarga Yunus. Terlebih pada saat kejadian, terdapat beberapa pihak keamanan bersenjata lengkap di antara kerumunan massa. Jika saja pihak keamanan yang pada saat kejadian berada di lokasi, ingat pada apa yang menjadi tugas utama mereka (melindungi, melayani dan mengayomi) maka ada kemungkinan Yunus tidak perlu meregang nyawa saat itu.
Selain beberapa hal yang disayangkan di atas, setelah kejadian yang menimpa Yunus dan keluarga, muncul hal lain yang lebih disayangkan: rasa duka yang membabi buta. Di salah satu grup WhatsApp, beberapa teman mengunggah rasa duka untuk Yunus dan keluarga dengan bebagai narasi naif. Narasi yang menggeneralisir bahwa yang harus bertanggung jawab penuh atas perbuatan biadab ini adalah Papua. Dan Mandar, sebagai tanah kelahiran Yunus, adalah korban yang harus balas dendam.
Pada medium lain, beberapa kawan melalui jaringan kawan bantu kawan, mulai merancang aksi sebagai wujud solidaritas atas apa yang menimpa Yunus dan keluarga. Sayangnya, narasi yang dibangun lagi-lagi seolah persoalan ini adalah persoalan Mandar dan Papua.