Kesabaran Pemkab Majene dan warganya benar-benar terusik atas kasus Pulau Lereklerekan. Pemkab dan warga bahu membahu menderapkan langkah agar pulau yang konon kaya kandungan gasnya itu tidak dikuasai daerah lain. Tapi esensi perjuangan itu bukan semata mengejar harta terpendam melainkan sebuah ‘Siri’ yang harus dipertahankan.
‘Takkalai Dzisobalang Dotai Lele Ruppuq Dadzi Natuali’ adalah kalimat sakti para pelaut ulung Mandar yang menjadikan suku asli di Sulbar itu dikenal sebagai penakluk samudera. Kini, kalimat itu membakar semangat warga Majene untuk mempertahankan Lereklerekan.
Sejak keputusan Mahkamah Agung tentang putusan kabul permohonan uji materi Permendagri 43 tahun 2011 tentang batas wilayah Majene yang mencakup Pulau Lereklerekan yang diajukan Pemerintah Kalimantan Selatan, dilansir di media cetak maupun elektronik, suhu di Kabupaten Majene mulai memanas. Desakan berbagai elemen masyarakat terus memojokkan Pemkab. Masyarakat menuntut agar Pemkab segera mengambil langkah mempertahankan pulau yang menjadi harapan hidup nelayan Majene sejak dahulu. Sejak itu pula, aksi-aksi demonstrasi terus menjadi pemandangan setiap hari di kota Kabupaten Majene.
Sebelum disengketakan, Pemkab Majene memasang 2 plang di sisi Timur dan Barat pulau itu. Pemkab juga berencana membangun rumah nelayan dan pengadaan lampu tenaga surya. Tapi rencana itu tertunda oleh kondisi cuaca.
Dengan putusan MA menerima uji materi itu, kondisi cuaca buruk tidak lagi menjadi penghalang. Warga Majene, menantang badai berangkat ke Pulau Lereklerekan untuk misi menguasai secara fisik pulau terluar Kabupaten Majene itu.
Mereka berangkat, Selasa 5 Juni 2012 membawa sekitar 50 bibit kelapa yang kemudian ditanam di pulau tersebut. Relawan yang mendaftar untuk berangkat ke Pulau Lereklerekan tidak jauh dari angka 1000 orang, namun Pemkab Majene membatasi hanya 50 orang. Relawan ini telah siap dengan segala kemungkinan yang akan dihadapi, bertarung secara fisik sekalipun. Rombongan berikutnya akan berangkat membawa 3 ramuan rumah untuk didirikan di pulau itu dan pembangkit listrik tenaga surya.
Kendati Pemkab Majene telah menguasai secara fisik terhadap Pulau Lereklerekan itu, warga masyarakat masih belum puas. Aksi demo terus berlangsung menuntut status hukum kepemilikan. Rapat terus berlangsung menyikapi keinginan warga. Akhirnya terbentuk beberapa tim advokasi, yakni tim advokasi hukum, advokasi politik, dan tim advokasi ekonomi.
Pembentukan tim advokasi itu juga belum memuaskan warga yang telah haus untuk segera bertindak. Sampai pada Rabu 13 Juni 2012, terjaid hal luar biasa di Majene. Pemkab Majene bersama warga melakukan rapat akbar yang melibatkan belasan ribu orang dan memacetkan arus lalu lintas sekitar 4 jam.
Silih berganti para pemimpin dari berbagai elemen meneriakkan semangat perjuangan melawan pihak lain yang mencoba menguji budaya ‘Siri’ orang Mandar. Semangat mereka semakin tersulut tatkala Bupati Majene H Kalma Katta dan ketua Komisi II DPRD Majene H Rusbi Hamid berjalan terdepan melakukan longmarch. Para pemimpin ini pun membakar dan menyulut gelora dengan orasi-orasi yang tersusun rapi menhujam tajam bak panah ke dalam dada.
‘Takkalai Dzisombalang Dotai Lele Ruppu Dadzi Natulai’ adalah kalimat yang paling banyak dilontarkan.
Aksi menjadikan jalan-jalan di Majene itu menjadi warna keki oleh baju para PNS yang juga turut mendukung mempertahankan Lereklerekan, membuat pelayanan pemerintahan terhenti total. Namun warga Majene tidak keberatan.
"Saya tidak mendapat pelayanan karena semua pegawai turun demo. Tapi pribadi tidak keberatan karena yang mereka lakukan adalah kepentingan yang lebih besar demi seluruh warga Majene bahkan Sulbar," kata Hasbi, seorang warga yang bermaksud mengurus perizinan.
Aksi yang dimulai di lokasi pembangunan masjid Agung Majene dan kembali ke lokasi itu setelah mengitari kota Majene. Para demonstran mengaku bersedia ke Jakarta melakukan aksi serupa jika memang dibutuhkan.(smd/zal)