Kadisbudpar Majene, Andi Beda.
Majene, mandarnews.com – Dalam rangka melestarikan dan memajukan kebudayaan asli di wilayah Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Majene mendaftarkan beberapa objek adat istiadat kebudayaan untuk dapat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di skala nasional.
Disbudpar Majene telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Kepala Disbudpar Majene Andi Beda mengatakan, tahun ini pihaknya mencoba mengusulkan sembilan objek kebudayaan yakni Tari Elo-eloq, paqbandangan peppio, maqppagiling mappalelo, cakkuriri, pettaruq beau, adaq tuho, pattappa bassi, bau peapi, dan pappolana.
Andi Beda menyampaikan, dalam setiap usulan yang dikirimkan ke Dirjen Kebudayaan, ada enam persyaratan administrasi yang harus ditetapkan. Dua dalam bentuk form (form pencatatan dan penetapan), melampirkan foto dan video serta harus menyertakan naskah akademik, juga daftar-daftar komunitas, kelompok, dan perorangan yang masih melaksanakan ritual-ritual kebudayaan yang diusulkan.
“Nanti setelah ini kita usulkan, akan ada turun tim verifikasi dari Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Provinsi serta Dirjen Kebudayaan untuk memastikan apa yang kita usulkan itu memang murni ritual-ritual kebudayaan yang khas, masih berlangsung, para pelaku masih ada, dan masih sering dipentaskan,” jelas Andi Beda, Kamis (17/2).
Paling penting, lanjutnya, ketika diidentifikasi dari hasil kunjungannya ini ternyata para pelaku ritualnya sudah sangat terbatas, Disbudpar berharap nanti ada perhatian dari pihak kementerian, dalam hal ini Dirjen Kebudayaan atau dari Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Provinsi untuk melakukan pembinaan secara bersama agar ritual-ritual yang selama ini mentradisi di wilayah Majene bisa terus dilestarikan dan paling penting tercatat sebagai warisan budaya di Majene.
“Ini upaya atau langkah-langkah yang dilakukan oleh Disbudpar Majene dalam upaya pelestarian dan kemajuan kebudayaan di Majene,” ujar Andi Beda.
Hanya saja, dalam upaya pelestarian kebudayaan untuk ditetapkan WBTB skala nasional tentu memiliki beberapa kendala.
“Kendala selama pelengkapan administrasi yang paling sulit adalah pertama yang diminta oleh Dirjen Kebudayaan dalam bentuk video pada saat objek ini diselenggarakan. Ada beberapa ritual ini yang memang sudah minim pelakunya, sehingga ini sangat sulit didapatkan videonya. Ini yang akhirnya membuat teman-teman turun kemudian kita ambil gambar pelaksanaan ritualnya,” sebut Andi Beda.
Sementara yang kedua terkait naskah akademik, di dalamnya harus ada literatur-literatur yang terakreditasi, bisa dalam bentuk karya tulisan skripsi, bentuk jurnal yang sudah diterbitkan dalam buletin terakreditasi terkait tradisi-tradisi kebudayaan.
“Kenapa ini penting? Untuk meyakinkan Dirjen Kebudayaan bahwa memang Kebudayaan ini memang ada dan berlangsung serta memiliki catatan sejarahnya, begitu pun arti dari ritual sejarah itu. Itulah yang harus dibuktikan dalam naskah akademik atau pun tulisan-tulisan ilmiah yang pernah dikaji sebelumnya,” terang Andi Beda.
Untuk tahun ini, dari sembilan objek yang diusulkan baru tiga objek yang tersedia naskah akademiknya.
“Maka, solusinya kita harapkan nanti akan membangun koordinasi, pertama Balai Nasional Kelestarian Kebudayaan Makassar supaya bisa turut membantu mengkaji beberapa ritual kebudayaan sehingga dapat dihasilkan tulisan-tulisan ilmiah serta juga bisa bekerja sama dengan universitas-universitas yang ada jurusan seni budaya, jurusan antropologi supaya agar mahasiswanya nanti dapat kita arahkan untuk dapat meneliti objek-objek kebudayaan di wilayah Majene,” tutup Andi Beda. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia