
Kepala Seksi (Kasi) Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinkes Majene, Dyah Febriyanti, S. Gz
Majene, mandarnews.com – Dinas Kesehatan Kabupaten Majene menyebutkan, dalam menangani berbagai permasalahan kesehatan di tengah masyarakat, partisipasi masyarakat sangat diperlukan, khususnya dalam penanganan gizi buruk yang sedang memanas.
Hj. Wirdaningsih, SKM, Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Majene menyampaikan, jika ada anak yang terindikasi gizi buruk, dari segi layanan kesehatan istilahnya pemberian makanan tambahan (PMT) untuk memulihkan gizi buruk seorang anak.
“Ketika terjadi kasus, PMT dilakukan selama tiga bulan oleh Puskesmas setempat dan dananya bersumber dari biaya operasional kesehatan. Tiap Puskesmas penganggarannya berbeda tergantung dari banyaknya kasus yang terjadi di wilayah masing-masing. Penganggarannya fleksibel, tergantung dari bagaimana bentuk pemulihan. Ada atau tidaknya kasus di Puskesmas tetap dilakukan penganggaran tetapi tidak seberapa,” ujar Hj. Wirdaningsih, Jumat (31/1/2020).
Hj. Wirdaningsih menjelaskan, sedangkan untuk mencegah, ketika masyarakat rajin mengontrol ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), pihak kesehatan bisa memantau perkembangan pertumbuhan seorang anak.
“Kalau ia sudah bermasalah, berarti ada kecenderungan untuk jatuh ke gizi buruk. Namun tidak langsung gizi buruk, tetapi didahului oleh gizi kurang. Ketika sudah ada indikasi gizi kurang, petugas akan melakukan pendampingan,” kata Hj. Wirdaningsih.
Yang menjadi permasalahan, lanjutnya, dalam pencegahan gizi buruk adalah ada penduduk yang hidup yang berpindah-pindah sehingga lepas dari pengawasan atau pendampingan.
“Sering terjadi, nanti sudah berkasus gizi buruk baru pindah lagi ke Majene. Ada beberapa kasus asalnya dari Tappalang ataupun Kalimantan, baik masyarakat asli yang pindah keluar lalu kembali ke Majene, atau memang masyarakat luar yang berdomisili di Majene,” ucap Hj. Wirdaningsih.
Ia menjabarkan, wilayah penyumbang gizi buruk di Majene pada tahun 2018-2019 adalah Puskesmas Sendana satu kasus, Puskesmas Tammerodo dan Puskesmas Sendana dua kasus, serta Puskesmas Malunda dan Puskesmas Ulumanda, sedangkan untuk dalam kota jarang.
“Sebenarnya faktor gizi buruk itu bukan tanggung jawab dari Dinkes saja. Contoh, misalkan ia kekuarangan pangan, siapa punya tanggung jawab itu? Atau pendapatan keluarganya tidak ada, siapa punya tanggung jawab itu? Hanya saja Dinkes selalu kena karena kita terminalnya sehingga jika terjadi kasus, akhirnya jatuhnya di sarana pelayanan. Padahal seandainya kita mau bilang ingin memperbaiki kebutuhan pangannya, penuhi pendapatan keluarganya, kemungkinan mereka bisa memenuhi pangan keluarga dan gizinya terpenuhi sehingga tidak terjadi gizi buruk,” tutur Hj. Wirdaningsih.
Sementara itu, M. Wahidin, M.Kes. selaku Fungsional Epidemiologi Dinkes Majene membeberkan, gizi buruk sebenarnya bisa tidak terjadi jika masyarakat melakukan pengontrolan di Posyandu seperti penimbangan rutin.
Sayangnya, tambahnya, masih ada sekelompok masyarakat, entah ada kesibukan atau apa sehingga tidak datang membawa anaknya untuk ditimbang atau dikontrol.
“Balita ditimbang untuk dilihat berat badannya, tinggi badannya, apakah sesuai dengan usianya sehingga bisa diketahui status gizinya. Kalau misalnya petugas kesehatan mendapatkan ada anak dalam 2 bulan berturut-turut tidak naik timbangan berat badannya, itu akan menjadi perhatian khusus, apakah dia masuk kategori gizi kurang atau gizi buruk. Kalau memangnya belum masuk kategori keduanya tetap akan menjadi perhatian di Posyandu. Hal itu harus dilakukan survei, misalkan keluarga tersebut berada di tingkat ekonomi sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Itu yang perlu kita koordinasikan dengan berbagai sektor,” ungkap Wahidin.